Cerita Rakyat Jawa Tengah
Alkisah, pada jaman dahulu hidup seorang pemuda yang bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa di panggil mbok Randa, ayahnya sudah lama meninggal. Sehari-hari Jaka Tarub dan ibunya bekerja sebagai petani.
Alkisah, pada jaman dahulu hidup seorang pemuda yang bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa di panggil mbok Randa, ayahnya sudah lama meninggal. Sehari-hari Jaka Tarub dan ibunya bekerja sebagai petani.
Jaka Tarub Dan Nawang Wulan
Pada suatu malam, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Namun, begitu terbangun dan menyadari kalau itu hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah itu masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak bisa tidur lagi. Lalu ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang-bintang dilangit. Tidak terasa, ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.
Mbok Randa melihat anak semata wayangnya sedang melamun. Ia menebak, mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup, teman-teman sebayanya pun rata-rata sudah menikah. Pikirannya itu membuat mbok Randa berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.
Siang hari, ketika mbok Randa sedang berada di sawah, tiba-tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya "Mbok Randa, kenapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga?" tanya Pak Ranu membuka percakapan. "Entahlah" kata mbok Randa, sambil mengingat kejadian tadi pagi. "Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu?" tanya mbok Randa. Ia sedikit heran, kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. "Tidak apa-apa mbok Randa. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku, Laraswati" jawab Pak Ranu.
Mbok Randa terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja di utarakan, ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis yang sangat cantik, tutur bahasanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian, ia tidak mau mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun, Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. "Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya, kita bertanya dulu pada anak kita masing-masing" kata mbok Randa bijak.
Hari berganti hari, mbok Randa belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung, mungkin juga Jaka Tarub sudah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama-kelamaan mbok Randa lupa akan niatnya semula.
Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu, ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu di dapatnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sejak kecil.
Pagi itu Jaka Tarub tengah bersiap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya, ia pun pamit pada ibunya. Mbok Randa terlihat biasa-biasa saja melepas kepergian Jaka Tarub. Ia berharap, anaknya itu akan membawa seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan.
Tidak memakan waktu lama setelah di hutan, Jaka Tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang, segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud untuk dibawa pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba-tiba muncul macan tutul dihadapannya. Macan itu siap menyerang, Jaka Tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang di panggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Macan tutul bergerak sangat cepat, ia menggigit menjangan itu lalu membawanya pergi.
Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget dengan peristiwa yang baru dialaminya, ia pun heran, baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah di tangan, malah di mangsa binatang buas. "Pertanda apa ini?" pikirnya. Namun, Jaka Tarub segera menepis pikiran buruknya itu.
Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka Tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tidak ada seekor buruan pun yang melintas. Matahari makin meninggi, Jaka Tarub merasa lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.
Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa-gesa menuju kearah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran, Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah terlihat dari kejauhan. banyak orang yang bekerumun di depan rumahnya. Bahkan orang-orang yang tadi tergesa-gesa menuju ke rumahnya juga. "Ada apa ya?" pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati, ia segera berlari menuju ke rumahnya.
"Ada apa ini?" tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang-orang terkejut dan menoleh ke arahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri danm menepuk-nepuk bahu Jaka Tarub "Sabar nak!" katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.
Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku di atas dipan di ruang tengah. Jaka Tarub baru menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tidak tahan menahan air mata. "Inikah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi" pikirnya.
Jaka Tarub tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya termenung memandang wajah ibunya. Ia merenungi nasibnya yang kini hanya sebatang kara, ia juga menyesal belum bisa memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan, kini ibunya telah tiada.
Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari-harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya, selalu ia bagi-bagikan ke tetangga. Karena hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.
Seperti pagi itu, Jaka Tarub tengah bersiap-siap untuk berburu. Dengan santai ia berjalan menuju hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka Tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tidak terasa hari sudah siang, tidak satupun hewan buruan yang di dapat, Jaka Tarub justru lebih banyak melamun.
Karena merasa haus, Jaka Tarub melangkahkan kakinya menuju danau. "Danau yang teletak di tengah hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai danau Toyawening". Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya mendengar suara gadis-gadis yang sedang bersenda gurau "mungkin ini hanya khayalanku saja" pikirnya heran "bagaimana mungkin ada gadis-gadis bermain di tengah hutan belantara begini!".
Pada suatu malam, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Namun, begitu terbangun dan menyadari kalau itu hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah itu masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak bisa tidur lagi. Lalu ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang-bintang dilangit. Tidak terasa, ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.
Mbok Randa melihat anak semata wayangnya sedang melamun. Ia menebak, mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup, teman-teman sebayanya pun rata-rata sudah menikah. Pikirannya itu membuat mbok Randa berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri.
Siang hari, ketika mbok Randa sedang berada di sawah, tiba-tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya "Mbok Randa, kenapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga?" tanya Pak Ranu membuka percakapan. "Entahlah" kata mbok Randa, sambil mengingat kejadian tadi pagi. "Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu?" tanya mbok Randa. Ia sedikit heran, kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. "Tidak apa-apa mbok Randa. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku, Laraswati" jawab Pak Ranu.
Mbok Randa terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja di utarakan, ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis yang sangat cantik, tutur bahasanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian, ia tidak mau mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun, Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. "Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya, kita bertanya dulu pada anak kita masing-masing" kata mbok Randa bijak.
Hari berganti hari, mbok Randa belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung, mungkin juga Jaka Tarub sudah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama-kelamaan mbok Randa lupa akan niatnya semula.
Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu, ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu di dapatnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sejak kecil.
Pagi itu Jaka Tarub tengah bersiap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya, ia pun pamit pada ibunya. Mbok Randa terlihat biasa-biasa saja melepas kepergian Jaka Tarub. Ia berharap, anaknya itu akan membawa seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan.
Tidak memakan waktu lama setelah di hutan, Jaka Tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang, segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud untuk dibawa pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba-tiba muncul macan tutul dihadapannya. Macan itu siap menyerang, Jaka Tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang di panggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Macan tutul bergerak sangat cepat, ia menggigit menjangan itu lalu membawanya pergi.
Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget dengan peristiwa yang baru dialaminya, ia pun heran, baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah di tangan, malah di mangsa binatang buas. "Pertanda apa ini?" pikirnya. Namun, Jaka Tarub segera menepis pikiran buruknya itu.
Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka Tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tidak ada seekor buruan pun yang melintas. Matahari makin meninggi, Jaka Tarub merasa lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.
Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa-gesa menuju kearah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran, Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah terlihat dari kejauhan. banyak orang yang bekerumun di depan rumahnya. Bahkan orang-orang yang tadi tergesa-gesa menuju ke rumahnya juga. "Ada apa ya?" pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati, ia segera berlari menuju ke rumahnya.
"Ada apa ini?" tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang-orang terkejut dan menoleh ke arahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri danm menepuk-nepuk bahu Jaka Tarub "Sabar nak!" katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah.
Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku di atas dipan di ruang tengah. Jaka Tarub baru menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tidak tahan menahan air mata. "Inikah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi" pikirnya.
Jaka Tarub tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya termenung memandang wajah ibunya. Ia merenungi nasibnya yang kini hanya sebatang kara, ia juga menyesal belum bisa memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan, kini ibunya telah tiada.
Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari-harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya, selalu ia bagi-bagikan ke tetangga. Karena hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.
Seperti pagi itu, Jaka Tarub tengah bersiap-siap untuk berburu. Dengan santai ia berjalan menuju hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka Tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tidak terasa hari sudah siang, tidak satupun hewan buruan yang di dapat, Jaka Tarub justru lebih banyak melamun.
Karena merasa haus, Jaka Tarub melangkahkan kakinya menuju danau. "Danau yang teletak di tengah hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai danau Toyawening". Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya mendengar suara gadis-gadis yang sedang bersenda gurau "mungkin ini hanya khayalanku saja" pikirnya heran "bagaimana mungkin ada gadis-gadis bermain di tengah hutan belantara begini!".
Dengan mengendap-ngendap. Jaka Tarub melangkahkan kakinya mendekati danau Toyawening. Suara gadis-gadis itu makin jelas tedengar. Jaka Tarub mengintip di balik pohon besar. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di danau, jantungnya berdegup kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu-satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaja Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari dari kayangan "Apakah ini arti mimpiku waktu itu?" pikirnya senang.
Jaka Tarub melihat tumpukan selendang bidadari diatas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua warna selendang itu berbeda-beda. "Jika aku mengambil salah satu selendang bidadari ini, tentu yang punya tidak akan bisa kembali ke kayangan" gumam Jaka Tarub. Wajahnya di hiasi senyum, manakala membayangkan sang bidadari yang selendangnya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.
Dengan hati-hati, Jaka Tarub berjalan menuju tumpukan selendang, ia berjalan dengan perlahan. Jika para bidadari tahu akan kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Lalu Jaka Tarub memilih selendang berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru-buru menyelinap ke balik semak-semak.
Tiba-tiba, salah seorang dari bidadari itu berkata "Ayo kita pulang sekarang, hari sudah sore!"
"Ya benar, sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari tenggelam!" tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau lalu mengenakan pakaian dan selendang mereka masing-masing.
"Dimana selendangku?" teriak salah seorang bidadari "Siapa yang mengambil selendangku?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. "Dimana kau taruh selendangmu Nawang Wulan?" tanya salah seorang bidadari. "Disini, sama dengan selendang kalian...!!" Nawang Wulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa selendangnya, ia tidak bisa kembali ke kayangan.
Karena Nawang Wulan tidak bisa menemukan selendangnya, ia segera masuk kembali ke danau Toyawening. Teman-teman yang lain ikut membantu. Usaha mereka sia-sia, karena selendang Nawang Wulan sudah diambil Jaka Tarub.
Akhirnya seorang bidadari berkata, "Nawang Wulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore, Nawang Wulan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada ke enam temannya yang terbang perlahan meninggalkan danau Toyawening "Mungkin sudah nasibku untuk menjadi penghuni bumi" pikir Nawang Wulan, sambil mencucurkan air mata.
Kemudian Nawang Wulan bertemu dengan Jaka Tarub yang berpura-pura menolongnya, lalu dibawa ke rumahnya karena hari sudah semakin sore. Akhirnya, merekapun menikah dan di karuniai seorang anak dan diberi nama Nawangsih. Sejak menikah dengan Nawang Wulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Pada suatu pagi, Nawang Wulan hendak mencuci ke sungai, ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawang Wulan juga mengingatkan suaminya untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.
Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena merasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi sudah matang. Tanpa sadar, Jaka Tarub membuka tutup kukusan nasi, ia lupa akan pesan Nawang Wulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub melihat isi kukusan itu, Nawang Wulan hanya menanak setangkai padi. Sepulang dari sungai, Nawang Wulan marah mengetahui apa yang telah dilakukan Jaka Tarub, "Kenapa kau melanggar pesanku, mas?" Jaka Tarub hanya diam, tidak bisa menjawab, "Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi" lanjut Nawang Wulan "Mulai sekarang, aku harus menumbuk padi, karena itu mas harus menyediakan lesung untukku!".
Jaka Tarub menyesali perbuatannya,tapi apa mau dikata semua sudah terlambat. Mulai hari itu, Nawang Wulan selalu menumbuk padi untuk di masak. Lama kelamaan, persediaan padi di lumbung semakin menipis. Seperti biasa, pagi itu Nawang Wulan ke lumbung untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang-batang padi, tanggan Nawang Wulan memegang sesuatu. Wajah Nawang Wulan seketika pucat pasi, melihat selendang berwarna merah yang barusan diambilnya.
Bermacam perasaan berkecamuk dalam hatinya. Nawang Wulan merasa dirinya telah ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau orang yang telah tega mencuri selendangnya adalah Jaka Tarub. Tentu saja keinginan yang selama ini ada dalam hatinya menjadi semakin kuat, ia ingin kembali ke kayangan.
Sore hari, setelah Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawang Wulan dan anaknya Nawangsih, ia terus mencarinya tapi tidak ketemu. Saat itu matahari mulai tenggelam, Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah tiba-tiba melihat sesuatu melayang kearahnya. Jaka tarub terpana, ternyata yang dilihatnya adalah Nawang Wulan yang menggendong Nawangsih. Nawang Wulan terlihat sangat cantik dengan pakaian bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub gemetar, ia tidak menyangka kalau Nawang Wulan bisa menemukan selendangnya, hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.
"Kenapa kau tega melakukan ini, Jaka Tarub?" tanya Nawang Wulan dengan nada sedih. "Maafkan aku Nawang Wulan!" hanya itu kata-kata yang sanggup di ucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. "Sekarang kau harus bertanggung jawab akibat perbuatanmu Jaka Tarub!" kata Nawang Wulan. "Aku akan kembali ke kayangan, karena sesungguhnya aku ini bidadari. Tempatku bukan disini" lanjutnya. Jaka Tarub tidak bisa menjawab, ia hanya pasrah dengan keputusan Nawang Wulan.
"Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan lagi suami istri!" kata Nawang Wulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Nawangsih masih tertidur lelap, ia tidak kalau ibunya akan meninggalkannya.
"Walaupun kamu telah bersalah padaku, Nawangsih tetaplah anakku. Jika suatu saat ia ingin bertemu denganku, bakarlah batang padi, maka aku akan menemuinya" tutur Nawang Wulan sambil menatap wajah Nawangsih. "Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar" lanjut Nawang Wulan.
Jaka Tarub melihat tumpukan selendang bidadari diatas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua warna selendang itu berbeda-beda. "Jika aku mengambil salah satu selendang bidadari ini, tentu yang punya tidak akan bisa kembali ke kayangan" gumam Jaka Tarub. Wajahnya di hiasi senyum, manakala membayangkan sang bidadari yang selendangnya ia curi akan bersedia menjadi istrinya.
Dengan hati-hati, Jaka Tarub berjalan menuju tumpukan selendang, ia berjalan dengan perlahan. Jika para bidadari tahu akan kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Lalu Jaka Tarub memilih selendang berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru-buru menyelinap ke balik semak-semak.
Tiba-tiba, salah seorang dari bidadari itu berkata "Ayo kita pulang sekarang, hari sudah sore!"
"Ya benar, sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari tenggelam!" tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau lalu mengenakan pakaian dan selendang mereka masing-masing.
"Dimana selendangku?" teriak salah seorang bidadari "Siapa yang mengambil selendangku?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. "Dimana kau taruh selendangmu Nawang Wulan?" tanya salah seorang bidadari. "Disini, sama dengan selendang kalian...!!" Nawang Wulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa selendangnya, ia tidak bisa kembali ke kayangan.
Karena Nawang Wulan tidak bisa menemukan selendangnya, ia segera masuk kembali ke danau Toyawening. Teman-teman yang lain ikut membantu. Usaha mereka sia-sia, karena selendang Nawang Wulan sudah diambil Jaka Tarub.
Akhirnya seorang bidadari berkata, "Nawang Wulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore, Nawang Wulan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada ke enam temannya yang terbang perlahan meninggalkan danau Toyawening "Mungkin sudah nasibku untuk menjadi penghuni bumi" pikir Nawang Wulan, sambil mencucurkan air mata.
Kemudian Nawang Wulan bertemu dengan Jaka Tarub yang berpura-pura menolongnya, lalu dibawa ke rumahnya karena hari sudah semakin sore. Akhirnya, merekapun menikah dan di karuniai seorang anak dan diberi nama Nawangsih. Sejak menikah dengan Nawang Wulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Pada suatu pagi, Nawang Wulan hendak mencuci ke sungai, ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawang Wulan juga mengingatkan suaminya untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.
Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena merasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi sudah matang. Tanpa sadar, Jaka Tarub membuka tutup kukusan nasi, ia lupa akan pesan Nawang Wulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub melihat isi kukusan itu, Nawang Wulan hanya menanak setangkai padi. Sepulang dari sungai, Nawang Wulan marah mengetahui apa yang telah dilakukan Jaka Tarub, "Kenapa kau melanggar pesanku, mas?" Jaka Tarub hanya diam, tidak bisa menjawab, "Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi" lanjut Nawang Wulan "Mulai sekarang, aku harus menumbuk padi, karena itu mas harus menyediakan lesung untukku!".
Jaka Tarub menyesali perbuatannya,tapi apa mau dikata semua sudah terlambat. Mulai hari itu, Nawang Wulan selalu menumbuk padi untuk di masak. Lama kelamaan, persediaan padi di lumbung semakin menipis. Seperti biasa, pagi itu Nawang Wulan ke lumbung untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang-batang padi, tanggan Nawang Wulan memegang sesuatu. Wajah Nawang Wulan seketika pucat pasi, melihat selendang berwarna merah yang barusan diambilnya.
Bermacam perasaan berkecamuk dalam hatinya. Nawang Wulan merasa dirinya telah ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau orang yang telah tega mencuri selendangnya adalah Jaka Tarub. Tentu saja keinginan yang selama ini ada dalam hatinya menjadi semakin kuat, ia ingin kembali ke kayangan.
Sore hari, setelah Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawang Wulan dan anaknya Nawangsih, ia terus mencarinya tapi tidak ketemu. Saat itu matahari mulai tenggelam, Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah tiba-tiba melihat sesuatu melayang kearahnya. Jaka tarub terpana, ternyata yang dilihatnya adalah Nawang Wulan yang menggendong Nawangsih. Nawang Wulan terlihat sangat cantik dengan pakaian bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub gemetar, ia tidak menyangka kalau Nawang Wulan bisa menemukan selendangnya, hal ini berarti rahasianya telah terbongkar.
"Kenapa kau tega melakukan ini, Jaka Tarub?" tanya Nawang Wulan dengan nada sedih. "Maafkan aku Nawang Wulan!" hanya itu kata-kata yang sanggup di ucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. "Sekarang kau harus bertanggung jawab akibat perbuatanmu Jaka Tarub!" kata Nawang Wulan. "Aku akan kembali ke kayangan, karena sesungguhnya aku ini bidadari. Tempatku bukan disini" lanjutnya. Jaka Tarub tidak bisa menjawab, ia hanya pasrah dengan keputusan Nawang Wulan.
"Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan lagi suami istri!" kata Nawang Wulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Nawangsih masih tertidur lelap, ia tidak kalau ibunya akan meninggalkannya.
"Walaupun kamu telah bersalah padaku, Nawangsih tetaplah anakku. Jika suatu saat ia ingin bertemu denganku, bakarlah batang padi, maka aku akan menemuinya" tutur Nawang Wulan sambil menatap wajah Nawangsih. "Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar" lanjut Nawang Wulan.
Jaka Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak lagi bertemu dengan Nawang Wulan. Sang bidadari pun pergi meninggalkan dirinya dan Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawang Wulan sambil mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan baik seperti pesan Nawang Wulan.
- T A M A T -