Cerita Asal Mula Telaga Biru

Cerita Rakyat maluku Utara
Dibelahan bumi Halmahera Utara, tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa. Di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang, penduduk Lisawa gempar dengan ditemukannya air yang tiba-tiba keluar di antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga, airnya bening kebiruan dan berada dibawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk, mereka bertanya-tanya, darimanakah asal air tersebut? Apakah ini berkat atau sebuah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Apa yang membuat fenomena ini terjadi?

Asal Mula Telaga Biru

Berita tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat, apalagi di daerah itu tergolong sulit air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat di gelar untuk menguak misteri timbulnya telaga air itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou Maduhutu (Allah Yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun dilakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban "Timbul dari Sininga irogi de itepi sidago kongo, dalulu de i uhi imadadi ake majobubu" (Timbul dari akibat patah hati yang remuk redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air).

Dolodolo (kentongan) pun di bunyikan sebagai isyarat, agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas datang untuk mendengarkan hasil temuan yang akan di sampaikan oleh tetua adat. Suasana pun hening yang terdengar hanya desiran angin dan desahan penduduk.

Tetua adat bertanya "Diantara kalian siapa yang tidak hadir, tapi juga tidak ada di rumah". Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu, mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan kedua anak itu, mereka hanya menyebutkan dengan panggilan umum orang Galela, Yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong) sepintas, mereka bercerita tentang perihal kedua anak itu.

Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang, sanak saudara dan sahabat sudah di hubungi, namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Sedangkan kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan, bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang, namun belum juga ada berita kapan dia akan pulang.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magihiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk sehidup semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan cinta kasih mereka akan tetap selamanya. Jika tidak, lebih baik mati daripada menanggung dusta.

Tetapi jalan hidup berkehendak lain. Setelah enam bulan bepisah, terdengar kabar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Dia telah melupakan ikrarnya untuk sehidup semati sebab telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Hati Majojaru menjadi hancur, karena Magohiduuru telah berpaling pada wanita lain. Dengan perasaan galau dan tubuh lunglai, Majojaru keluar dari rumah mencari tempat sunyi untuk merenungkan nasibnya.

Setelah berjalan beberapa lama, sampailah Majojaru di depan sebuah pohon beringin tua yang sangat rindang. Di tempat itu dia berteduh dari sengatan panasnya sinar matahari sambil meratapi kisah cintanya. Tidak terasa air matanya mengalir, yang semakin lama semakin banyak hingga menggenangi daerah sekitarnya dan membentuk sebuah telaga berwarna biru. Majojaru pun tenggelam oleh air matanya sendiri. Begitulah telaga itu terbentuk yang hingga kini masih dapat disaksikan keberadaannya di dusun Lisawa.

-  T A M A T  -